Sampit Perlu Perubahan!
Sore itu, saya menyempatkan untuk menyapa seorang kawan, Kimung. Namanya mungkin tidak lagi terdengar asing. Terlebih untuk ranah musik keras Bandung. Ia, merupakan salah satu yang memprakarsai pembentukan scene UjungBerung Rebels (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Uberebels). Ujung Berung, bagi beberapa scene metal di kota kota lain, bisa dianggap sebagai kiblat. Atau jika tak ingin terdengar berlebihan, Ujung Berung dapat disebut sebagai salah satu scene musik keras tertua di Indonesia.
Via chatting, ia menjelaskan mengenai seperti apa keadaan Uberebels sekarang dan masa lampau. Saya lantas mencoba untuk mengkomparasi antara Bandung dan kota saya, Sampit. Sebelumnya, saya ingin mengenalkan Sampit. Ini adalah sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah, posisinya berdekatan dengan Palangkaraya. Sampit, pada dasarnya memiliki potensi besar untuk berkembang (dari segi pergerakan musik). Mungkin, kami hanya belum berkesempatan untuk berkembang.
Poin poin yang membuat scene Bandung bisa berkembang secara masif adalah jejaring, wadah, dan tentu saja, massa. “Bandung kota kecil, dari pusat kota ke tiap ujung daerah paling butuh waktu 20-30 menit bermotor,” ujarnya saat saya sanjung mengenai betapa besarnya Bandung sebagai kota. Ia menyebutkan, dengan keadaan kota yang kecil, kesempatan untuk bertemu banyak orang semakin besar.
Dari situlah, crowd perlahan terbentuk. Komunitas kecil perlahan berkembang menjadi scene dengan massa bejibun. Kedua, adalah wadah. Kimung menyatakan di Bandung, terdapat banyak acara dengan penyelenggara berbeda. Keberagaman gig musik keras membuat kawan kawan yang tergabung dalam scene memiliki tempat untuk sekadar bernyanyi dan menyebarkan kabar mengenai eksistensi mereka.
Kemudian, yang terakhir adalah jejaring. Mereka, mengembangkan jaringan tidak hanya sebatas internal musik keras. Jaringan dengan pemerintahan, kepolisian hingga komunitas non musik dikembangkan. “Perupa,arsitek, penulis, fesyen, mahasiswa, dokter, hingga tentara,” sebutnya. Jejaring seperti ini, disebut sebagai jejaring eksternal. Hal ini diperlukan sebagai upaya perluasan komunitas, dan tentu saja, dapat mempermudah pengadaan acara.
Di Bandung, tak asing jika kemudian dalam pagelaran musik, diselipi pameran dan pertunjukkan. Pun sebaliknya. Nilai plusnya, perizinan bisa lebih mudah didapat. Mengenai perizinan, Kimung memiliki catatan tersendiri untuk scene di kotanya. Ia menyebutkan “Di banding awal 2000an perijinan hari ini sangat susah,”
Awalnya, saya mengira bahwa hal ini berhubungan dengan peristiwa Beside dan AAC beberapa tahun silam. Ternyata, peristiwa tersebut bukan satu satunya penyebab. Kimung lebih menyebut adanya ketidaksamaan visi antara pengada acara dan pemerintah. “Walikota tak punya visi yang jelas tentang kota ini. Ga gaul. Ga tau dinamika yang terjadi,” paparnya. Dinamika di mana kaum muda dan pergerakan musik di kota itu sudah sangat masif dan memerlukan support pemerintah.
Saya fikir, kolot-isme pemerintahan terjadi di mana mana. Pemerintah yang begitu paranoid dengan gerombolan bertatto dan kaos hitam hitam ^^. Lepas perbincangan dengan Kimung, saya mencoba untuk mengkomparasikannya dengan kota saya. Lantas mengukur probabilitas kemajuan pergerakan musik keras di kota ini.
Massa dan jejaring. Dua hal ini, sebenarnya bisa kota saya dapatkan dengan mudah. Massa musik keras di kota ini cukup mumpuni. Tentu bukan dengan standar ‘musik keras’ sekelas Disgorge ataupun Funeral Inception. Musik keras sekelas punk, emo atau bahkan rock and roll, dapat diterima dengan baik. Saya, sempat membuktikan ini dengan berhasil mengumpulkan 56 nama untuk menjadi anggota Sampit Music Community. Meski kemudian komunitas ini kolaps dan lenyap entah kemana.
Massa, adalah potensi pertama yang saya yakini ada di kota ini. Kemudian jejaring. Untuk kota sekelas Sampit, kemajuan tekhnologi dan akses keluar kota sudah cukup mumpuni. Jejaring, saya rasa bukan kendala. Komunitas punk Sampit, mampu menembus hingga Malang dan Surabaya. Secara aktif, mereka sesekali mengadakan panggung kecil kelas internal. Saya rasa, sekali lagi, jejaring bukan kendala sebenarnya.
Masalah utama kota ini, adalah wadah. And unfortunately, wadah adalah hal krusial yang tanpa keberadaannya suatu komunitas bisa tewas. Ini dibuktikan oleh komunitas yang saya dan kawan kawan coba usung. Komunitas metal, tak dapat wadah bahkan hanya untuk berkumpul. Tak terbayang susahnya membuat perizinan untuk mengadakan panggung dengan mengusung nama metal.
Stigma mengenai metal sama dengan rusuh masih berkelibas terlampau sering di kepala awam. Saya, sulit menyalahkan siapa dalam hal ini. Selain perizinan dan stigma yang terlanjur terbentuk, tempat untuk berkreasi cenderung minim di kota ini. Kering pagelaran musik. Solusi? Ini yang saya lupa tanyakan pada Kimung.
Meski sebenarnya saya tau apa yang akan ia jawab jika saya tanyakan perihal ini.
“Bergeraklah, terus maju dengan caramu. Suatu saat pasti ada jalan. Jangan berhenti, karena berhenti berarti mati,”
Kimung menulis buku mengenai scene ujungberung. Dalam buku Myself, Scumbag: Beyond Life and Death, MinorBooks, 2007. Buku yang berorientasi pada sebuah nama, Ivan Scumbag, dan band-nya Burgerkill. Kedekatan personal penulis dan isi buku membuat Myself, Scumbag: Beyond Life and Death menjadi sebuah karya epik yang menarik untuk diikuti, dari halaman satu hingga akhir. Banyak bagian dari buku ini yang menguras emosi. Kita dibawa ke dalam dunia Ivan, Kimung, Burgerkill dan uberebels. Dalam sebuah penghormatan atas kematian vokalis band metal paling heavy se-Indonesia itu :)
Rusnani Anwar
Sampit, 12 Nopember 2010
Dengan lantunan Suffocation dan bergelas gelas susu coklat hangat.
No comments:
Post a Comment