Monday, November 01, 2010

Am I a Flat Girl?

Aku bertemu kawan lama, Sabtu sore. Cuaca mendung membuatnya terpaksa menjemput aku bermobil. Dia adalah kawan yang aku temukan lewat chatting. Hebatnya, aku dan dia sudah nyaris tiga tahun ber YM an dan kami tak pernah bertemu.

Sebagai seorang yang sangat kolot, aku sempat khawatir ketika dia berkata bakal menjemputku bermobil. Those time, aku takut diculik, kawan :D silly me. Kami bertemu, jalan dan akhirnya menepi di dermaga pelabuhan. Saat itu belum ada kapal yang merapat. Pelabuhan sepi lantaran gerimis sesekali jatuh.

“Dalam rangka apa nih, ke Sampit?”

Aku mencoba memecah kebekuan. Aneh, kadang kita bisa begitu heboh ketika ngobrol di YM/skype, tapi menjadi begitu kaku ketika bertemu.

“Besok aku mau ke PT. MAP, ada rapat senin pagi”

“Parenggean?”

“Ya,” jawabnya singkat seraya membuka dashboard yang ada di dekatku.

Sebuah coklat

“Nih.” Katanya.

Sambil berterima kasih aku potek potekkin coklat itu.

Ia mulai bercerita bahwa ia tengah mengalami masalah dengan tunangannya.

Aku, sebenarnya punya teori mengenai ‘laki laki buaya yang sedang merayu perempuan,”

Salah satu dari barisan penunjang teori itu adalah:

Menyebutkan bahwa sedang bermasalah dengan pasangannya untuk menarik simpati perempuan yang dirayu.

Untuknya, aku bingung apakah teoriku dapat teraplikasi.

Pertama, teori itu hanya berlaku untuk cowok ababil usia 14-23 tahun

Kedua, aku sama sekali tidak merasa pantas dirayu oleh pria semapan dia.

Ketika aku tengah sibuk dengan pikiranku, dia menegur dan meminta maaf sudah membeberkan masalah pribadinya pada pertemuan pertama kami.

Aku bilang tak apa.

Jika dia merasa bahwa itu bisa membantu, aku akan mendengarkan.

Kisahnya bergulir. Dan akhirnya aku mengerti, ia mengambil keputusan untuk membatalkan pertunangannya.

"menurutmu aku salah?"

Pertanyaan itu dia tanyakan padaku.

Senja turun di luar sana, kami masih memandangi sungai. Mendung masih menggelayut.

Sesekali ia hidupkan wiper mobil, menghalau tetesan air yang menghalau pemandangan.

"Kamu menyesal dengan keputusan itu?" tanyaku balik

Dia bilang, “Keputusan yang berat, Nan. Tapi aku tidak menyesal, rasanya plong,” ujarnya seraya menurunkan AC mobil. Dingin menusuk hingga ke tulang.

“Berarti kamu nggak salah,”

“Kok bisa? Dia (mantan tunangannya) selalu bilang aku salah dengan keputusanku ini,”

“Menyesal adalah perasaan yang timbul setelah seseorang melakukan kesalahan. Kamu tidak menyesal, kamu tidak salah,” ujarku, menuntaskan gigitan terakhir pada coklat pemberiannya.

Ini, sebenarnya adalah kalimat andalanku. Kalimat andalan ketika seseorang menanyakan pendapatnya atas suatu keputusan yang telah ia buat. Akupun begitu, ketika tengah mengambil keputusan, aku akan diam beberapa saat. Dan menerka nerka apa yang sedang kurasakan. Jika aku menyesal, berarti aku sudah berbuat kesalahan.

Ia menepuk pundakku. Berterimakasih. Di luar mulai gelap, ia nyalakan lampu bangku belakang.

“Sebenarnya kita ini masing masing menunggu lapar. Kamu lapar?” ia melirik jam, nyaris setengah tujuh. Artinya sudah dua jam kami duduk di dalam mobil.

“Ingin jawaban jujur atau basa basi?”

Segera ia nyalakan mobil, menuju rumah makan.

Sambil menatap hujan, menunggu makanan. Ia bertanya.

“Kita udah tiga tahun kenal loh, Nan,”

“Yeah, suprisingly,” aku menjawab seraya meniup niup gelas teh panas.

“Kamu ga pernah cerita tentang ‘love story’mu,”

“Maybe because I never had one?” aku balik tanya

“Ah bohong!

“Serius, selama tiga tahun, kamu pernah ga liat status facebookku yang menyerempet ke perkara cinta cintaan?”

Makanan datang. Hujan mulai turun.

“Kamu tidak jelek”

“Pinter”

“Lucu”

“Kurang apa”

Ujarnya

Aku tertawa

“Kamu posisikan diri sebagai aku deh, kira kira apa penyebab aku belum berpacaran juga?”

Dia diam sejenak.

Kamu belum menemukan yang cocok?”

Aku tersenyum, merasa tak perlu mengiyakan penyataannya.

“Aku tak tau, apa ini lantaran espektasiku yang ketinggian atau gara gara para laki laki sering merasa terintimidasi olehku,”

“Espektasi, intimidasi, define!”

“Well, aku berharap menemukan seseorang yang bisa kuajak ngobrol. Dan mengimbangi obrolanku. Yang bisa di ajak berdebat mengenai politik, sejarah, apa saja, hanya itu, seseorang yang bisa berbicara denganku tanpa harus bergidik dan mengataiku sok pintar,

“Kemudian yang terjadi, ketika aku berada dalam tahapan PDKT nih, saat seseorang itu menjemputku, mengajakku jalan. Mereka akan bilang “Kmu terlalu baik bwtku” lewat SMS dan hubungan kami terputus saat itu,”

“Apa yang kamu lakukan saat PDKT?” ia mengunyah ngunyah ayam bakar pesanannya.

“Just be me,” jawabky singkat

“Ah.. I see, kamu akan jomblo selamanya kalau gitu,” ia tertawa

“Jahat! Kamu fikir aku mau gitu selamanya kaya gini,”

“Hm.. yang PDKT denganmu pasti para fans kamu dari radio kan?” tebaknya

“Sigh, fans, bukanlah. Kebanyakan kawannya kawan, comblangan gitu”

“Berarti kusimpulkan, seusia denganmu”

Ia melanjutkan kalimatnya. Kalimat yang mungkin akan sulit kulupakan. Kalimat itu terasa sangat benar

“Kotamu ini kota kecil. Anak anak seusiamu, 18-20 tahun, tak akan punya kesadaran tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Lebih lebih politik dan sejarah internasional. Usia ini, tidak hanya di Sampit, adalah usia sibuk. Sibuk memikirkan kuliah, pacaran, dan jalan jalan. Usia senang senang. Manusia normal, kemudian akan begitu concern terhadap isu populer saat mereka menginjak usia 25 tahun ke atas. Ini usia kritis.”

“Aku tidak normal?” ujarku, setengah cemberut.

“Kamu hanya dewasa sebelum waktunya

“Solusinya.. ya.. kalau kamu ingin pacaran dengan anak seusiamu, berpura pura bodohlah” ia menuntaskan kunyahan terakhirnya, lalu melanjutkan

“Atau, jika ingin berpacaran sehat seperti keinginanmu. Carilah pria yang setidaknya 10 tahun lebih tua. Biar bisa seimbang,”

“Gimana kalau denganku?” dia mengerling

Aku tertawa, memukul bahunya.

“Aku tidak ingin berpacaran dengan kawan. Aku jarang punya teman, kalau putus nanti repot,” ia menirukan suara perempuan. Mencoba membaca hatiku.

Malam itu berakhir dengan dentang jam ke sepuluh. Perut kenyang dan dingin yang menusuk tulang.

Foto di ambil di Pelabuhan Mentaya, siang hari. Langit begitu biru, sungai begitu keruh, kala itu

No comments:

Post a Comment