Senja Merah
Dalam upaya melawan lupa
Malam Teror
Sore itu, langit berpendar merah. Dari kejauhan, matahari memancar, silau. Sudah jam enam sore, matahari belum menyerah. Langit yang sama, yang berulang setiap hari. Wenggini menatapnya dengan mata terpicing. Seperti menantang. Tak lama, pendar silaunya kalah juga. Semesta menghendaki desa Wenggini berubah menjadi malam.
Wenggini memasuki kamarnya. Malam mulai menggelayut di luar sana. Jendelanya kini dirapatkan. Ayahnya tengah sibuk menggotong sekarung jagung ke dalam lumbung kecil di sebelah rumah. Dari jendela Wenggini melihat pria renta itu tergopoh gopoh masuk rumah. Berlomba dengan pendar matahari yang nyaris mati.
Malam, bagi seluruh penduduk desa Wenggini, adalah teror. Sedari kecil hingga ia kini berusia 16 tahun, Wenggini tak habis fikir bagaimana bisa malam menenggelamkan keberanian warga satu kampung. Pertanyaan itu, sebenarnya, terjawab dengan sendirinya. Ketika suatu malam, Sunaryo abangnya diseret paksa dari dalam rumahnya.
Ya.. Wenggini masih ingat malam itu. Rasa rasanya seperti baru seminggu lewat. Segerombol bersenjata menendang pintu, meneriakkan nama abangnya. Popor senjata tumbangkan ayahnya saat ingin mencegah seretan tanpa ampun para bersepatu lars itu. Ayahnya pingsan, hingga kini kakinya masih pincang. Wenggini masih mengenang abangnya yang berdarah darah, berteriak lantang;
“Lebih baik mati daripada..”
Dor.
Abangnya mati di tempat, berlubang kepalanya. Gerombol hitam bersenjata menghilang seiring gemuruh debu dan bising mobil jeep. Wenggini memicingkan mata, mengingat ingat matahari yang terbit kala Sunaryo dikubur seadanya. Di tengah ladang jagung, dengan nisan secarik kayu. Ia kini berbaring di ranjangnya. Pukul tujuh malam dan desa Wenggini tak ubahnya pekuburan.
“Lebih baik mati daripada menyerah,” desis Wenggini.
Bulu kuduknya merinding, ia ngeri sendiri menggumamkan kalimat yang kerap diucapkan abangnya itu. Kalimat itu hanya tersusun dari kosakata sederhana. Tak sampai sepuluh kata. Tapi kalimat itu juga, yang mengantarkannya menjadi tak berabang selamanya. Malam kian tinggi, dari kamarnya Wenggini mendengar pintu pintu berselerek dirapatkan. Jendela jendela diganjal dan dikunci ganda. Juga gemerisik bisik ketakutan seluruh warga desa.
Terkadang, di tengah malam, Wenggini mendengar kerosak jerami kering yang diinjak. Juga bisik membisik dari luar bilik kamarnya. Wenggini ingat, itu suara Sunaryo yang selalu menelusup pergi di tengah malam. Sunaryo tak takut pada teror malam, Wenggini kagumi abangnya yang bersekolah di kota itu.
Malam, adalah teror bagi desa Wenggini. Entah sejak kapan, tak satupun ada yang berani keluar ketika malam tiba. Bahkan tidak untuk sekedar membuka pintu dan memastikan teriakan “Maling maling” dari rumah demang. Ada yang lebih mengerikan dari maling bercelurit di desa Wenggini. Orang orang enggan membeberkan apa teror malam itu sebenarnya.
Wenggini tahu, teror malam itulah yang merobek perut maling bercelurit dan membiarkannya tergantung membusuk dengan usus memburai di pohon Akasia tepi jalan masuk ke desanya. Teror malam yang sama yang melubangi kepala abangnya. Wenggini meraba raba ke bawah ranjangnya. Sebuah tas ransel diraihnya. Milik Sunaryo dulu. Entah apa isinya, tas ransel itu Wenggini temukan terbungkus plastik sangat banyak dan mengapung di sumur belakang rumahnya.
Wenggini tak sengaja mengangkatnya dengan ember berisi air keperluan minum dua sapi milik ayahnya. Ia tak tahu, atau enggan mencari tahu apa maksud lembaran lembaran kertas yang ada dalam ransel Sunaryo. “Lebih sedikit yang tahu, lebih sedikit yang lolos dari peluru,” gumam Wenggini seraya mengembalikan ransel itu ke bawah ranjang.
Wenggini berdesis, terkejut. Mbok Warsih, ibunya mengetuk pintu kamarnya. Malam sudah larut, kokok ayam dan dengung anjing berkeracau, tak berhenti. Ketukan itu semakin kencang, Wenggini segera menyulut pelita. “Ada apa, bu?” suara Wenggini terdengar parau.
“Kemasi bajumu, nduk, cepat,” ibunya menggasak masuk, seperti kesetanan membongkar lemari Wenggini dan melemparkan isinya ke udara. Wenggini melompat dari ranjangnya. Ia tarik ransel Sunaryo dan menjejalkan isi lemari yang dilemparkan ibunya. Mbok Warsih berceracau. “Ealah mampus kita nduk, pamanmu.. abangmu. Kali ini siapa lagi,” “Ibu ndak tau nduk. Apa yang mereka mau” titik airmata dari wajah Mboh Warsih.
Wenggini kian bingung, tapi dikemasinya juga lemparan ibunya. Malam itu, Wenggini dipaksa Mbok Warsih berlari menembus ladang jagung. Nisan abangnya sempat membuatnya jatuh. Wenggini bergidik, ini pertama kalinya ia keluar rumah di malam teror. Mbok Warsih berbalik, kembali ke rumah. Ia berteriak teriak seperti kesetanan. Wenggini tak sempat mencegah, ibunya menghilang dalam pekat ladang jagung.
Wenggini bersimpuh di makam abangnya seraya mengurut kaki, bertanya tanya. Gelap malam dan ladang jagung setinggi kepala rupanya menyembunyikan Wenggini dari rongrongan malam teror. Di sela rapat daun jagung, Wenggini melihat api. Berkeretek, dengan asap menjulang ke langit. Malam teror sedikit berwarna. Api itu dari rumahnya.
Dor. Dor.
Wenggini yatim piatu sejak malam itu.
...
Ini sebenarnya semacam proyek novelku. Beh, berasa penulis beneran aje bilang 'proyek novel' kayak gini. Hm.. mengambil tema PKI, sebenarnya, tentang kapitalisme, ekonomi kerakyatan, komunisme, Freud, Stalin dan kawan kawan. Yang di atas baru chapter satu. Semoga saja, aku ga keburu bosen dan karya ini ga terselesaikan (lagi) layaknya belasan proyek tulisan lain.
Susahnya jadi orang gampang bosenan.
Karena dari awal di tegaskan cerita diatas bergenre fiksi, maka settingan lokasi dimana cerita terjadi, sejarah dan nama-nama tokoh dalam cerita tidaklah penting untuk di telaah lebih jauh. Detil cerita telah tegambar dengan jelas, meski alurnya agak lambat, terlebih penggambaran pada tokoh Wenggini. Lagi-lagi pemilihan bahasa yang baik dan teratur. Bakat yang luar biasa! Keep up the good work!
ReplyDeleteini komentar setelah ngebaca satu chapter di atas apa setelah ngebaca satu buku? :D #gaterimadibilangalurnyalambat #etapiberterimakasihjugabuatkomentarnyah
ReplyDelete