baru pulang kerumah. kelar nonton razia gelandangan dan pengemis.
I hate to admitted, but I just cry, badly.
sebut saja aku berlebihan.
tapi mendengar kalimat "Suami sudah meninggal, kalau nggak ngemis mau makan apa," dituturkan nenek-nenek 79 tahun, nggak tahan juga.
ternyata, aku bisa nangis juga :D
hahahaha.
yang paling bertanggung jawab siapa? pemerintah? masyarakat? diri mereka sendiri?
tuhan?
entahlah.
"Memangnya nggak takut anaknya sakit bu? kalau di ajak ngemis malem-malem gini?"
"Tuhan yang menghidupkannya, tuhan jua yang mematiakannya,"
itu anak loh bu, bukan gameboy yang bisa di on-offkan atau dicabut baterainya.
nggak berlebihan kan, kalau lantas aku nulis
sebut saja aku berlebihan.
tapi mendengar kalimat "Suami sudah meninggal, kalau nggak ngemis mau makan apa," dituturkan nenek-nenek 79 tahun, nggak tahan juga.
ternyata, aku bisa nangis juga :D
hahahaha.
yang paling bertanggung jawab siapa? pemerintah? masyarakat? diri mereka sendiri?
tuhan?
entahlah.
"Memangnya nggak takut anaknya sakit bu? kalau di ajak ngemis malem-malem gini?"
"Tuhan yang menghidupkannya, tuhan jua yang mematiakannya,"
itu anak loh bu, bukan gameboy yang bisa di on-offkan atau dicabut baterainya.
nggak berlebihan kan, kalau lantas aku nulis
Sebuah Murka
Ketidakberdayaan ini membuat kami pesimis.
Ketidakmakmuran ini membuat kami apatis.
Kemiskinan ini membuat kami atheis.
Kami berdesak di antara jalan berdebu dan parit parit penuh kotoran.
Kami merajut nyawa dengan membanting segalanya di jalanan.
Kami tak lagi sekedar pemenuh peta Kalimantan.
Kami bernyawa, bersuara, tapi senantiasa teredam.
Wahai bapak bapak penjual tuhan.
Kami tak tau bagaimana perasaan bapak waktu bilang sumpah demi Allah di gedung kenegaraan.
Tapi kami orang orang desa sungguh takut bersumpah menggunakan nama tuhan.
Kami takut jika mengingkarinya kami akan berubah menjadi orang utan.
Kami tau ini terdengar klise, corny dan berlebih lebihan.
Tapi seperti biasa kami berkata “padamu harapan kami sandarkan”
Kami harap jawaban bapak tidak “seperti biasanya”, karena biasanya kami hanya menerima kata “tunggu hingga kebinet mendatang” sebagai jawaban.
Kami menjerit lewat puisi dan lagu.
sastrawan dan musisi adalah wakil kami dari dulu.
Kami hanya pesimis suara kami mampu menembus gedung kenegaraan itu.
Konon katanya temboknya tebal sekali, anti peluru.
Pantas saja, ketika kami menjeritkan kelaparan ini, mereka tidak tahu menahu.
Kami ini memang manja.
Kami memang terbiasa meraung untuk hentikan rasa lapar yang merajalela.
Habisnya, kami sudah kehabisan akal mengakali kemiskinan yang tak ada habisnya.
Mungkin bukan perkara benar-salah yang kita cari. Mungkin kita hanya perlu pembenaran atas segala ketidakpedulian. Mungkin saja.
Sampit Expo, 2010. Tuhan menyayangi kita semua. |
No comments:
Post a Comment