Di suatu sore yang indah, Nani memutuskan untuk jalan jalan dan menggunakan moda transportasi tersohor bernama busway. Oke, ini memang bukan kali pertama saya naik busway, ini ketiga kalinya. Oh betapa beruntungnya saya yang tidak harus banyak bersinggungan dengan transportasi umum lantaran saya tinggal di kantor. Jadi ya.. ga harus jalan jauh kalo mau ngantor. *krik* *krik*, ditambah dengan ke mana mana selalu menggunakan taksi, maka kali ini perjalanan menggunakan busway terasa HUWOW.
Rute saya adalah Cipete-Pasar Festival. Berbekal situs ini artinya saya harus naik dari halte Pejaten menuju GOR Sumantri.Melewati delapan halte di jalur 6. Okelah, kalo udah nyampe halte busway mah gampang, tinggal duduk manis lalu sampai. Dengan tekad bulat untuk tidak menggunakan taksi, saya naik angkot nomer sebelas rute pondok labu-pasar minggu untuk mencapai halte. Tiba di perempatan Cipete Raya - Jeruk Purut, angkot yang saya tumpangi menunaikan fitrahnya sebagai angkot, memotong jalan yang seharusnya memutar jauh di pangeran antasari dan tentu saja, memacetkan jalan yang semula padat merayap.
"Gabruk!!" angkot dilempar aqua gelas.
Angkotpun BERHENTI ditengah kemacetan dan berteriak ke mobil pelempar yang sudah maju beberapa meter. "Kalau berani turun lo!"
Saya teringat dengan kasus serupa saat menuju Blok M di suatu senja dengan metro mini nomer 610. Metro mini memotong jalan dan digebrak polisi lalin. Tak lama setelahnya menyerempet xenia dan berakhir dengan jerit histeris saya dan dua penumpang cewek lain, meminta turun.
Klakson kian menyaring. Saya sudah putus asa, merangsek hendak turun namun kemudian angkot menginjak gas kenceng dan ugal ugalan sepanjang Jeruk Purut. Sejurus kemudian saya melihat batu nisan dan karangan bunga berputar di kepala saya. Bukan inget mati, tapi kebetulan memang lewat pemakaman Jeruk Purut.
Eniweeeiii, setelah melintasi jalan Benda-Pejaten Barat, saya tiba di jalan raya Buncit, dekat Pejaten Village. Saya harus mengkalikan empat lebar jalan raya di kampung saya untuk mengimbangi jalan Raya di Jakarta. Ini salah satunya.
Sudirman, diambil dari sini |
Dapat dipastikan kalo nyebrang jalan di atas saya keburu dilindes, atau sekurang kurangnya butuh waktu dua hari untuk sampai dengan selamat di sisi jalan lain. Yang menyenangkan dengan naik busway adalah: saya hanya perlu dua puluh menit perjalanan dari Cipete ke Pasar Festival. untuk diketahui, Cipete itu di Jakarta Selatan dan Pasar Festival ada di Jakarta Pusat. Ga sejauh Sampit - Palangkaraya sih.. tapi kalau iseng nyobain naik mobil dengan rute yang sama di jam empat sore, jam tempuh akan sama seperti Sampit-Palangkaraya, 3,5 jam even more :P
Kuningan jam 3 sore, ga macet sih.. padet aja. |
Berhubung busway punya jalurnya sendiri dan kuenceng lajunya, dalam sepuluh menitan saya akhirnya nyampe di GOR Sumantri. Dan disuguhi ini
ITU JEMBATAN PENYEBRANGAN SEPANJANG PANJANG ULAR NAGA AJA GITU!!! |
Dengan segenap nafas yang tersisa, sore itu empat kali banyaknya saya naik-turun tangga dan penyebrangan. Pulang pulang kumal, dan bau ketek. Cih. Di Pasfest saya sempat mengambil beberapa foto.
Gedung Global TV |
Lokasi suting acara tipi yang tersohor itu, Radio Show |
Bakrie Tower. Itu gedungnya tinggi banget, item gelap dan kokoh *okay, mulai mesum* |
Black campaign Jokowi. Nemu di jalan RS Fatmawati |
Sore saya berakhir dengan pulang dari halte GOR Sumantri menuju halte Philip Pejaten. Kali ini saya lupa berhitung bahwa itu jam 4.50 di hari Rabu. Jam dan hari kerja. Halte yang semula seperti ini saat saya berangkat,
Cuma ada mas mas, bisnya juga lengang, jam 3 sore. |
Menjadi seperti ini
Gambar dari sini, ga bisa ambil gambar sore itu, tapi kurang-lebih sepadet ini |
Bis penuh sesak, saya ga becanda saat di bis pertama yang lewat ada mas mas dengan pipi menempel di kaca bis saking sesaknya. Saya sendiri berpadat padat di antrian masuk bis hingga setengah jam lebih sampai akhirnya, di bis ketiga bisa masuk. Bisnya lengang? HUAHAHAHA sepanjang jalan saya harus nempel dengan mbak mbak di samping kanan dan mas mas di belakang. Pesan moralnya jika sedang haus sentuhan, cobalah naik busway di jam dan hari kerja. Insya allah dapat pelukan-ga-sengaja atau sekurang kurangnya, grepe.
Di tiap halte, bis berhenti dan semakin menambah penumpang. Bis makin sesak hingga di halte mampang prapatan, belasan mas mas kantoran memaksa masuk melalui pintu belakang yang memang tidak dijaga (jadi cuma ada satu petugas di pintu depan yang bertugas bukain pintu dan mengomando kalo bis udah penuh). Mas petugas mengumpat serapah soal "Mas udah penuh mas jangan dipaksa." "Mbak geser ke tengah mbak, geser lagi" "Mas udah penuh mas nanti kejepit sakit loh" (and I was like, you don't say?!")
Dari halte mampang prapatan bis kembali jalan, pintu belakang ga bisa ditutup hingga penumpang bagian belakang memaksa maju agar pintu bisa ditutup.
"AW" suara mbak satu
"Aduh!" suara ibu dua
"Allohu Akbar" suara mbak tiga
"Cangcimen cangcimen" suara mas mas yang mencoba melucu di tengah padatnya bis.
Saya cuma tersenyum dan melihat melalui jendela, ke kemacetan parah kuningan. Naik taksi memang enak, adem ber-AC dan tentunya lega, namun memakan berjam jam. Naik busway emang enak, sepuluh menit sampai namun harus berdesak desak kalau berangkatnya ga berhitung pakai waktu.
Tapi yang pasti, perjalanan saya sore itu hanya memakan sebelas ribu rupiah :) sementara kalau dengan taksi.. sudahlah, kita tidak perlu membahas berapa tarif taksi, Nan. Apakah jera naik trans jakarta? jawabnya tidak. Saya entah kenapa justru menikmati ketersesakan bis semacam itu, sensasi naik turun tangga dan menertawakan mobil mobil yang terjebak macet saat busway melaju kencang di jalurnya sendiri. Mungkin lain kali harus pinter milih jam naik aja kali ya.
mantaps....hehee.....salam kenal sob...
ReplyDeletesalam kenal kembali :)
ReplyDelete