foto diambil dari sini |
Masih ingat kebijakan pemerintah berupa peralihan pengggunaan minyak tanah ke gas beberapa tahun lalu? saat itu kompor gas dan tabung gas 3 kilo berwarna hijau menjadi buah bibir. Di Jakarta, konon program ini sudah digalakkan dan tergolong berhasil. Tak heran jika kini susah menemukan minyak tanah dijual di warung warung depan gang. Berganti dengan tabung tabung hijau unyu, berderet banyaknya.
Program nasional ini secara perlahan diterapkan ke daerah daerah. Tercatat Aceh, Banjarmasin dan beberapa kota lain tergolong sukses dalam upaya konversi ini. Tujuannya jelas, pasokan minyak tanah dunia menipis dan negara ini mulai keteteran untuk melakukan impor. Dengan penggunaan gas, semoga kita semua bahagia. iya, sesederhana itu.
Di Kalteng sendiri, kampanye penggunaan gas mulai bergaung. Didukung dengan kelangkaan BBM yang saya alami sendiri dua minggu terakhir saat berlibur di Sampit, kota kelahiran saya. Minyak tanah melonjak di harga 7.600 per liter di tingkat pangkalan. Di eceran, harganya bisa mencapai 8.000 per liter. Sementara untuk kebutuhan memasak -contoh penggunaan mitan paling sederhana- setidaknya untuk sehari akan menghabiskan satu liter minyak tanah untuk satu kompor.
Sementara di rumah tangga konvensional, rata rata memiliki kompor dua buah. Enambelas ribu rupiah sehari untuk bahan bakar memasak. Tentu saja, menggunakan gas tampak seperti kabar baik untuk kantong kita. Kabarnya, dalam enam bulan ke depan, konversi minyak tanah ke gas ini akan digalakkan dan goalnya adalah, seluruh rumah tangga di kalimantan tengah menggunakan kompor gas dan kita semua bahagia.
Kabar ini tidak sepenuhnya menyenangkan bagi keluarga saya. Abah, adalah pedagang minyak tanah keliling. Beliau berada di tingkat pengecer yang mencari keuntungan 400 rupiah perliter minyak tanah yang berhasil dijualnya. Dengan adanya konversi ini, Abah mau jualan apa? beralih menjadi pedagang gas berarti memerlukan modal. Sementara dalam kondisi sekarang.. ah pokoknya ribetlah.
Bukan saya tak senang dengan adanya kebijakan yang konon akan membuat kita semua bahagia ini. Bukan pula berdoa agar kampanye konversi ini gagal. Kita hanya tengah bingung, setelah enam bulan nanti, bayar kredit motor, mesin cuci dan bayar sekolah adik gimana caranya...
Bukan cuman minyak yg di konversi, tetapi siasat tentang bagaimana cara kita, pedagang eceran, gorengan, martabak, warteg dll, utk tetap survive selain dari pada, kebingungan-kebingungan itu sendiri...
ReplyDeleteAh, kita bisa apa? mereka udah gembar-gembor berhasil, diatas gelimang eksplosif di tiap pojokan, was-was di tiap sudut dapur, trauma yang bercokol dan mengepul. Kita, lagi-lagi, mengucap doa terbata yg tak pernah tuntas hafal ketika menyambung regulator dan memutar tuas si kompor. Berhasil, dan, Senang.
Well, semoga nani bisa ngelewatin momen2 tsb nan. Pasti bisa :)
iya ih, sebenarnya pingin menyelipkan tentang tabung yang meledak dan nyawa yang hilang. tapi rasanya seperti merajuk dan mengeluh terlalu banyak aja. saat ini kondisi sedang tidak mengenakkan untuk kami-dan banyak pihak lain-
ReplyDeleteAku ga pernah meragukan ke'bisa'anku buat melalui sesuatu. Tapi prosesnya ituuuu. Amin :D