Satu satunya yang berhasil diurai dari waktu adalah kalkulasi. Hukum fisika menyebutnya t, kode untuk time, waktu. Satuannya sekon, banyak rumus yang kemudian memuatnya. Dari yang paling sederhana seperti gerak lurus beraturan (s=v.t) sampai yang ribet seperti hukum kekekalan momentum (m1.v1 + m2.v2 = m1.v’ + m2.v’) di mana sebelum mengerjakannya, v' harus dihitung dari m/s. Yes, kita harus menghitung sebelum mulai menghitung, Ini sebabnya saya tidak menjadi fisikawan :p
Setelah kalkulasi didapat, baru kita bisa menimbang nimbang waktu. Bermain di area bernama estimasi. Perkiraan. Tidak ada yang pasti, bahkan dalam ilmu pasti sekalipun. Karenanya kita mengenal phi, atau yang tengah popular berkat serial Revenge, infinity symbol. Infinity times infinity. Tak terhingga.
Saya tidak cukup pandai untuk menjabarkan waktu dari perspektif newton atau james joule. Saya bahkan tidak tau siapa mereka. Namanya cukup keren buat memberikan impresi bahwa saya cukup mumpuni soal ilmu eksakta. Itu saja, demi pencitraan. Yang saya coba sampaikan adalah, saat ini saya tengah mencoba untuk mengelabui waktu; atau setidaknya, bersembunyi darinya.
Saya 20 tahun Januari lalu. Saya tau, saya sudah di Jakarta dan berhasil menghidupi diri sendiri dengan menulis. Saya bekerja kepada orang terbaik yang pernah saya kenal dan sungguh saya bersyukur atas itu. Saya dikelilingi orang orang yang percaya terhadap kemampuan saya dan rasanya keterlaluan kalau saya tidak berterimakasih. And I do, for all of my heart, I deeply thank for everything that I already achieve.
Saya hanya lulusan SMA dengan usia baru 19 tahun saat ke Jakarta. Lack of experience, lack of knowledge and still, there's someone that believing in my ability. I'm grateful.
Kembali ke perkara waktu. Saya dihantam satu pertanyaan saat pulang ke Sampit. "What am I gonna do with my life?" saya tau, ini retorikal, saya tau betul jawabannya sejak lima tahun lalu. Bahwa saya ingin jadi penulis dan hidup sebagai penulis. Now here I am, writing and earn money. Yang saya lupa pikirkan adalah, apa yang akan saya lakukan setelah keinginan tersebut tercapai.
Waktu menjadi hal yang menakutkan belakangan ini. Akhir tahun saya akan pulang ke Sampit, mencoba membantu abah untuk menstabilkan keuangan keluarga kami pasca kabar konversi minyak tanah ke gas (baca posting sebelumnya). Kenapa pulang? bukannya Jakarta menawarkan kesempatan menghasilkan uang jauh lebih besar dibanding Sampit? Saya sadar itu dan sedikit banyak menjadi pertimbangan sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti. But big income comes with big responsibility. Dan saya belum mampu menghadapinya, itu saja.
Waktu pula yang melemparkan saya ke masa masa silam, di mana saya tersenyum lebar di depan cermin di suatu pagi, bersiap untuk pertama kalinya terbang keluar pulau, ke Jakarta. Melemparkan saya ke gambaran antusias seorang Nani yang pertama kalinya menyentuh dan mengoperasikan mac computer. Makan di Burger King, KFC, Mc Donald, A&W, dan sederet makanan yang sebelumnya hanya saya lihat di layar televisi. Juga ada Nani yang terbengong bengong menonton Ari Reda di Bentara Budaya, teater teater di Gedung Kesenian Jakarta, Monolog Inggit di Salihara dan Nani yang mencoret satu per satu rincian mimpi di bucket list-nya. Saat ke Sushi Tei, saat nonton Bandung Berisik, dan make fun with Pizza HUT waitress.
Lalu mengapa harus pulang ke Sampit jika Jakarta menawarkan begitu banyak kemungkinan untuk mewujudkan mimpi? kenapa harus menyerah sekarang dan berhenti sebelum menjadi penulis hebat dan punya kehidupan yang settle? Bukankan selama ini saya adalah satu satunya orang yang berkoar tentang pencarian rasa nyaman di ibukota, yang menawarkan segala yang tidak Sampit punya?
Entahlah, saya tidak ingin bercerita terlampau panjang mengenai batasan rasa nyaman dan definisi settle. Yang saya tau, hidup harus terus berjalan dan keputusan tetap harus diambil. Soal resiko, kita coba untuk mengelabui waktu dan hadapi kemudian, Nan..
Setelah kalkulasi didapat, baru kita bisa menimbang nimbang waktu. Bermain di area bernama estimasi. Perkiraan. Tidak ada yang pasti, bahkan dalam ilmu pasti sekalipun. Karenanya kita mengenal phi, atau yang tengah popular berkat serial Revenge, infinity symbol. Infinity times infinity. Tak terhingga.
Saya tidak cukup pandai untuk menjabarkan waktu dari perspektif newton atau james joule. Saya bahkan tidak tau siapa mereka. Namanya cukup keren buat memberikan impresi bahwa saya cukup mumpuni soal ilmu eksakta. Itu saja, demi pencitraan. Yang saya coba sampaikan adalah, saat ini saya tengah mencoba untuk mengelabui waktu; atau setidaknya, bersembunyi darinya.
Saya 20 tahun Januari lalu. Saya tau, saya sudah di Jakarta dan berhasil menghidupi diri sendiri dengan menulis. Saya bekerja kepada orang terbaik yang pernah saya kenal dan sungguh saya bersyukur atas itu. Saya dikelilingi orang orang yang percaya terhadap kemampuan saya dan rasanya keterlaluan kalau saya tidak berterimakasih. And I do, for all of my heart, I deeply thank for everything that I already achieve.
Saya hanya lulusan SMA dengan usia baru 19 tahun saat ke Jakarta. Lack of experience, lack of knowledge and still, there's someone that believing in my ability. I'm grateful.
Kembali ke perkara waktu. Saya dihantam satu pertanyaan saat pulang ke Sampit. "What am I gonna do with my life?" saya tau, ini retorikal, saya tau betul jawabannya sejak lima tahun lalu. Bahwa saya ingin jadi penulis dan hidup sebagai penulis. Now here I am, writing and earn money. Yang saya lupa pikirkan adalah, apa yang akan saya lakukan setelah keinginan tersebut tercapai.
Waktu menjadi hal yang menakutkan belakangan ini. Akhir tahun saya akan pulang ke Sampit, mencoba membantu abah untuk menstabilkan keuangan keluarga kami pasca kabar konversi minyak tanah ke gas (baca posting sebelumnya). Kenapa pulang? bukannya Jakarta menawarkan kesempatan menghasilkan uang jauh lebih besar dibanding Sampit? Saya sadar itu dan sedikit banyak menjadi pertimbangan sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti. But big income comes with big responsibility. Dan saya belum mampu menghadapinya, itu saja.
Waktu pula yang melemparkan saya ke masa masa silam, di mana saya tersenyum lebar di depan cermin di suatu pagi, bersiap untuk pertama kalinya terbang keluar pulau, ke Jakarta. Melemparkan saya ke gambaran antusias seorang Nani yang pertama kalinya menyentuh dan mengoperasikan mac computer. Makan di Burger King, KFC, Mc Donald, A&W, dan sederet makanan yang sebelumnya hanya saya lihat di layar televisi. Juga ada Nani yang terbengong bengong menonton Ari Reda di Bentara Budaya, teater teater di Gedung Kesenian Jakarta, Monolog Inggit di Salihara dan Nani yang mencoret satu per satu rincian mimpi di bucket list-nya. Saat ke Sushi Tei, saat nonton Bandung Berisik, dan make fun with Pizza HUT waitress.
Lalu mengapa harus pulang ke Sampit jika Jakarta menawarkan begitu banyak kemungkinan untuk mewujudkan mimpi? kenapa harus menyerah sekarang dan berhenti sebelum menjadi penulis hebat dan punya kehidupan yang settle? Bukankan selama ini saya adalah satu satunya orang yang berkoar tentang pencarian rasa nyaman di ibukota, yang menawarkan segala yang tidak Sampit punya?
Entahlah, saya tidak ingin bercerita terlampau panjang mengenai batasan rasa nyaman dan definisi settle. Yang saya tau, hidup harus terus berjalan dan keputusan tetap harus diambil. Soal resiko, kita coba untuk mengelabui waktu dan hadapi kemudian, Nan..
Jakarta, 13 Juni 2012
Cipete tengah malam
Sore - Freiman
No comments:
Post a Comment