Thursday, January 06, 2011

Kota Para Dewa

Jakarta adalah kota para dewa. Ada beribu tubuh dengan tujuan bahagia tinggal di sana. Jakarta adalah negeri para penguasa. Yang berkuasa atas takdir dan nafasnya. Jakarta hadir tidak cuma dengan iming iming bahagia, konon ia juga hadir bersama perpanjangan nyawa.

Ya, banyak orang orang berumur selamanya tinggal di Jakarta. Kalaupun tubuh mereka mati, roh roh pencari bahagia masih bernyawa dan beredar di Jakarta. Kota para dewa, kota para roh juga nampaknya.

Di Jakarta, semua orang merasa bahagia. Mulai dari yang terjebak dalam kemacetan Thamrin di mobil mobil berpelat merahnya hingga yang tidur berbalut koran di emper stasiun Senen. Semua bahagia meski di wajahnya berbalut duka. Habisnya, mana bisa sedih kalo sudah menjejak tanah para dewa.

Layaknya dewa dewa, Jakarta memiliki aura magis. Menghipnotis siapa saja yang melaju mendatanginya, pun pada kaki yang baru saja menjejak di pelabuhan Tanjung Priuk, kamis pagi. Negeri para dewa merayunya hingga ke batasan hedonis tertinggi, dan membuat si pemilik kaki enggan beranjak pulang meski puluhan surat dari desa datang padanya berbulan bulan. Anaknya mati istrinya mblendung sembilan bulan.

Tidak.. pemilik kaki yang menjejak Pelabuhan kamis pagi itu tidak bergeming dari kontrakan lusuhnya di kawasan Penjaringan selama berbulan bulan. Sebuah mimpi membuatnya bertahan dari rayuan pulang surat surat berperangko wajah presiden yang mbulet tak keruan itu. Semacam terjebak dalam angan utopis, pemilik kaki yang menjejak pelabuhan di kamis pagi itupun tetap mengayuh kakinya, menjadi kuli di negeri para dewa, Jakarta.

Ah! kini lihatlah, sang pemilik kaki mati tertimbun kawat baja dari (semacam) apartemen yang diburuhinya. Ada seorang mandor, yang seperti utusan dewa, berkoar koar nyaring kala matanya beradu pada kepala pemilik kaki yang terbelah dan otaknya terburah itu.

"Jembut! Gue udah bilang, beli helm! anak bini mulu yang dikirimin duit!"

Pria pemilik kaki melayang nyawanya. Namun di kota para dewa, nyawa nyawa yang mati (meski mengenaskan) tetap tersenyum bahagia dalam batasan utopis angan hedonnya. Sihir dewa memang sakti mandraguna.



*suatu sore, dalam angan hijrah ke Jakarta ^^*

No comments:

Post a Comment