Monday, July 25, 2011

Sebuah catatan; Menyusuri Kejayaan Kayu Kotawaringin Timur

Bulan Mei 2010 silam, koran Radar Sampit (tempat saya bekerja waktu itu) meminta saya untuk turut menulis mengenai kondisi terkini dari kota kota yang dulunya merupakan pusat bisnis kayu. Dalam satu tim, kami menyusuri jalan jalan menuju Parenggean, Kuala Kuayan dan Sangai. Ketiganya merupakan sentra logging dan lokasi perusahaan perusahaan logging dan sawmill dalam skala besar maupun kecil.

Ini merupakan sisa sisa tulisan saya yang sebagian terbit di koran tersebut. Enjoy J

***

Kabut Jingga Kini Selimuti Parenggean

Sulit menyimpulkan bagaimana kondisi jalan menuju Parenggean. Empat truk terbalik, belasan sepeda motor selip dan jembatan yang lumpuh rasanya sudah cukup menjadi jawaban. Ruas jalan dipenuhi lumpur tanah dengan kolam kolam setinggi lutut orang dewasa. Dengan keadaan seperti inilah, puluhan tahun lamanya warga Parenggean bertahan.

Jarak Sampit-Parenggean hanyalah 105 kilometer. Dengan logika, 105 kilometer bisa ditempuh satu hingga dua setengah jam perjalanan. Sayang, logika itu harus dipatahkan, untuk bisa mencapai parenggean, tim Radar Sampit harus menghabiskan lima jam penuh di jalan. Dengan bonus jalan berlubang, lumpur menggenang, hingga jalan bergerinjal yang menukik-menanjak. Sungguh, bukan sebuah rekomendasi ‘perjalanan menyenangkan’.

Data Badan Pusat Statistik Kotim pada tahun 2009 menunjukkan, dari 1.568.580 km jalan kabupaten, 1.323.755 km diantaranya dalam keadaan rusak. Hanya 163.839 km jalan beraspal. Sementara 1.347.968 masih berbentuk tanah, 945.8781 dinyatakan rusak berat. Jalan ini membentang sepanjang Kabupaten Kotawaringin Timur. Kecamatan Parenggean, tentu tak ingin melewatkan kesempatan memiliki jalan hancur berlubang seperti itu.

Lima jam perjalanan melelahkan itu diakhiri dengan memasuki desa Bajarau. Letaknya memang di mulut masuk wilayah kota. Sepanjang jalan, hamparan warna jingga melekat di mana mana. Bukan, jingga itu bukan berasal dari warna senja. Namun selimut debu yang dihasilkan jalan tanah.

“Kalau panas, jalannya berdebu, kalau hujan, jalannya jadi lumpur,” ungkap Sidiq, warga Bajarau yang telah tinggal di tempat itu sejak tahun 1992. Ia menyatakan, seumur umur dirinya tinggal di sana, sama sekali tidak pernah ada perbaikan jalan. Alhasil, mengingat interval hujan cukup minim di daerah tersebut, maka debu jingga merajalela. Mulai dari pagar, atap, badan jembatan, bahkan helaian daun yang menjuntai ke arah jalan, terselingkupi debu.

Sulit membayangkan bagaimana Parenggean sanggup bertahan selama puluhan tahun di daerah ini. Akses jalan yang begitu menyedihkan membuat Syubandi, seorang pedagang mengaku lebih menginginkan jalan diperbaiki daripada listrik yang normal. Kecamatan ini mengalami masalah listrik yang cukup serius. Lampu padam setiap hari sudah menjadi makanan warga.

Menurut Syubandi, jalan yang baik akan mempermudah warga menjangkau daerah sekitar. Pedagang bahkan lebih memilih memasok barang dari Palangkaraya daripada ke Sampit. Meski jaraknya lebih jauh, namun akses jalan negara menuju ibukota provinsi itu jauh lebih baik daripada ke Sampit.

Ruas jalan Parenggean

*photo was taken here*

Yang berkontribusi besar atas kerusakan jalan adalah melintasnya kendaraan berbobot berat setiap hari di wilayah tersebut. Kini, yang melintas adalah truk truk milik perusahaan sawit. Namun sawit tidak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Jalan rusak sudah menjadi derita sejak puluhan tahun lalu.

Ketika industri kayu masih berjaya di sana, truk truk pengangkut log jumlahnya tak terhitung. Kayu, tidak hanya dihanyutkan di sungai. Sungai Tualan yang melintasi Parenggean memiliki lebar tak seberapa, sehingga sebagian kayu harus diangkut melalui jalan darat. Sebuah jembatan besi yang cukup besar bahkan dibangun melintasi sungai demi bisa melancarkan arus perjalanan kayu.

“Jalan hancur itu gara-gara habis dihajar kayu, digilas sawit lagi,” ungkap Zaenal, pedagang lain. Masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Di sisi lain, perusahaan sawit sedikit menyelamatkan mereka dari jurang pengangguran. Mayoritas warga yang dulu menjadi pekerja di perusahaan kayu sempat kalang kabut kehilangan tempat bekerja. Dengan berdirinya kebun Sawit, setidaknya warga masih bisa bekerja meski upah dirasa pas-pasan. Kini, yang tersisa di Parenggean hanyalah pedagang pasar yang lesu, hutan-hutan gundul, sawmill terbengkalai, dan tentu saja, jalan yang hancur lebur, dimakan waktu.

Pada era 90an, menjadi pedagang di pasar adalah tujuan bisnis kebanyakan masyarakat lokal yang tinggal di Parenggean, Kuayan dan Sangai. Pasalnya, menjadi pedagang di era itu bisa mendatangkan keuntungan yang besar. Tidak sedikit dari pedagang yang bisa berhaji lepas setahun dua tahun berdagang.

Perjalanan tim menuju daerah hulu Kotim ditandai dengan pasar Parenggean. Pasar yang konon sempat menjadi buruan pekerja kayu di setiap Minggu. Jika dulu penghasilan sehari pedagang bisa mencapai jutaan rupiah, kini hanya satu-dua pengunjung yang diharap. Keadaan pasar akan sedikit ramai ketika akhir pekan. Saat pekerja sawit turun untuk mengisi perbekalan. Namun keadaan sama saja, jauh dari masa lalu.

Namanya Zaenal, seorang pedagang di Pasar Parenggean. Ia merupakan pemilik toko emas di kawasan itu. Kini, toko emas miliknya seakan hidup segan mati tak mau. Pasar yang sepi, udara panas yang menguar tinggi, dan wajah wajah malas pedagang menunggui barang barangnya sudah cukup menginterpretasikan bagaimana lesunya perekonomian pasar saat ini.

“Kalau dulu, sampai siang seperti ini, masing banyak yang beli. Sekarang, dari pagi kita buka, satupun nggak ada yang datang,” ujarnya. Tidak sedikit toko toko yang ditutup di kawasan itu. Menurut Zaenal, mereka yang tutup semata dibebabkan ketidakmampuan meneruskan usaha. Hal serupa diungkapkan Baharudin, pedagang lain.

“Kami yang bertahan saat ini hanya untuk menunggui saja, kalau berharap untung itu sudah tidak mungkin,” ujar pemilik toko baju ini. Bagaimana dengan pekerja sawit? mengingat lokasi Parenggean dikelilingi estate estate sawit milik perusahaan besar. Baharudin mengungkapkan, pekerja sawit tidak bisa diharapkan, lantaran penghasilan mereka tidak sebesar pekerja kayu zaman dulu.

Ditambah, pekerja perusahaan sawit yang mayoritas merupakan pendatang dari pulau Jawa membuat mereka lebih memilih pulang ke tempat asalnya dibanding menghabiskan uang di pasar. Selain itu, pedagang seperti mereka harus bersaing dengan penjual yang menerapkan sistem jemput bola. “Banyak yang menggunakan pick up ke wilayah perusahaan. Kami mana bisa seperti itu, pokoknya sekarang ini gawian uyuh,” paparnya.

Ia mengenang, ketika masa masa kayu berjaya, setiap hari adalah surga bagi pedagang pasar. Karakter masyarakat lokal yang kala itu bekerja kayu sangat royal terhadap uang. “Mereka belanja tanpa takaran, pasalnya uang mudah didapat,” kenang Baharudin. Tidak jauh berbeda diungkapkan para pedagang di pasar desa Sangai, kecamatan Antang Kalang.

183 kilometer ditempuh dari Sampit untuk bisa mencapai wilayah Tumbang Sangai. Banjir setinggi mata kaki menyambut tim sore itu. Paginya, kami berkesempatan berbicara dengan sejumlah pedagang pasar. Tohin, salah satunya, ia seorang pedagang kelontong. Tohin mengungkapkan, apa yang ia rasakan dulu sangat berbeda dengan saat ini. Kini pedagang pedagang seakan terpaksa menyusun dagangannya setiap pagi. “Ya gimana mau semangat, jarang ada yang beli, sekarang ini kan kita hanya berharap dari penduduk sekitar,” ujarnya.

Meski dulu yang diharap pedagang juga merupakan warga lokal, namun pekerjaan penduduk di era 90an jauh lebih menghasilkan dibanding sekarang. Saat ini warga terjebak dengan rutinitas dan pekerjaan seadanya. Rata rata mantan pekerja kayu itu kini bertransformasi menjadi penyadap getah pohon karet, bertani, menarik rotan, hingga menjadi buruh sawit. Tentu saja, dengan upah seadanya. Inilah yang seakan menjadi rem daya konsumsi warga atas barang barang di pasar.

“Dulu itu hitungannya kalau kerja dua hari, cukup buat saya makan seminggu, sekarang, susah sekali,” ungkap Junawan, pedagang baju. Uniknya, rata-rata pedagang di pasar desa itu merupakan warga pendatang. Rupanya, mereka datang ke daerah daerah hulu lantaran tergiur usaha kayu.

Tohin yang merupakan warga asli Tegal, Jateng, Junawan yang juga mengaku berasal dari Semarang sudah bermukim di Sangai masing masing sejak tahun 1992 dan 1995. Junawan mengaku diajak seorang temannya untuk pindah ke Parenggean, kala itu. Di sana, ia menjadi pekerja kayu. Tahun tahun berlalu, di akhir 2004, ia pindah ke Tumbang Sangai dan menjadi pedagang. Tahun itu, pesona kayu belum redup sepenuhnya, sebagai pedagang ia masih bisa menyecap keuntungan berlimpah dari para pengunjung pasar.

Kini, hanya langit langit berdebu dan udara terik serta genangan banjir yang menemani pedagang pasar. Masa-masa jaya itu telah berlalu, berganti dengan rasa jenuh dan kumpulan tanda tanya bagaimana untuk kembali menapak waktu, esok hari.

Kini, Gaung Nyaring Kelotok Nyaris Tak Terdengar Lagi

Hutan Kayu. Kalimat itu sudah terlalu lekat dengan nama Kalimantan. Kekayaan alam yang luar biasa terbentang hijau di pulau ini. Sejak zaman dulu, nyawa dan nafas penduduk digantungkan pada hutan. Era 90an, banyak yang telah mencium semerbak menjanjikan dari bisnis kayu. Kini, yang tersisa tak seberapa, berupa tonggak kering dan tanah gersang, sisa kejayaan.

Kotawaringin Timur memiliki luas 16.496 kilometer persegi. 609.6865 hektare diantaranya merupakan hutan. Ini artinya, 40 persen lebih dari luas Kotim merupakan bentang alam yang dihiasi julangan tinggi pohon pohon kayu. Sisanya, terbagi atas semak belukar, pemukiman dan perkebunan. Ini berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan daerah di tahun 2006. Tepat di saat industri kayu meredup.

Dapat dipastikan, luasan hutan pada tahun tahun awal eksploitasi kayu jauh lebih besar daripada angka di atas. Pasalnya, selama belasan tanpa putus hutan Kotim ditebang dan dihanyutkan ke pulau lain. Keadaan ini berlangsung mulai tahun 1992 hingga 2005, kala itu, puluhan perusahaan kayu tersebar di Kotim. Berizin tak berizin, legal tak legal.

Salah satu zona kayu adalah Kuala Kuayan, ibukota Kecamatan Mentaya Hulu. Di sana, tak terhitung berapa gelondong kayu yang keluar dari hutan. Bayangkan, jika dalam sekali angkut, seorang pemilik kelotok mampu mengangkut hingga 1.000 kubik kayu. Maka dalam sehari, puluhan ribu kubik kayu bisa dibawa ke Sampit, mengingat penduduk pinggir sungai yang berprofesi sebagai pengemudi kelotok berjumlah puluhan.

Belum lagi yang diangkut menggunakan tugboat milik perusahaan yang berkapasitas lebih besar dibanding kelotok. Hal ini diungkapkan Rahman, seorang pengemudi kelotok di pinggiran sungai Kuayan. Ia yang telah melakoni profesi tersebut sejak tahun 1996 ini mengaku pada era kayu mampu menarik 500 hingga 1.000 kubik kayu. Per kubiknya ia dibayar Rp 5.000. Ini artinya, sekali angkut, ia mampu mengumpulkan Rp 5.000.000.

Dengan kondisi sembelum krisis ekonomi, jumlah tersebut sangatlah besar. “Sehari kerja waktu dulu sama seperti seminggu kerja sekarang. Pendapatan menurun drastis,” ujar Anto, penarik kelotok lain. Bukan berlebihan, kini tidak ada lagi perusahaan kayu yang menggunakan jasa mereka. Yang tersisa hanya satu-dua penumpang yang ingin menyeberang.

Keadaan semakin sulit ketika belasan pemilik kelotok dihadapkan pada konstruksi jembatan yang kelak menghubungkan kedua pulau. Camat Mentaya Hulu, Agus Tripurna menyatakan, jembatan akan selesai dalam waktu dekat. “Nanti mereka (pemilik kelotok) tetap bisa menyeberangkan warga yang rumahnya jauh dari jembatan,” ujarnya.

“Dulu, kami lebih memilih narik kayu daripada mengangkut penumpang, sekarang, kami malah pusing nyari penumpang,” ungkap Rahman seraya tertawa. Kedua pengemudi kelotok itu menjelaskan, untuk bisa ‘meloloskan’ kayu ke Sampit, perlu biaya yang tidak sedikit. Ketika itu, kayu yang berizin maupun tidak berizin diberlakukan sama. Tetap harus membayar.

Uang sebesar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta dikeluarkan untuk setiap pos sungai yang dilalui. Yang memungut, bukan bajak laut ataupun preman sungai. Pos pos tersebut merupakan wilayah penjagaan milik pemerintah. Petugas berseragam itu akan meloloskan kelotok berbayar, tanpa pandang surat izin si kayu. “Kalau dari sini ke Sampit, ada sekitar empat pos penjagaan,” tutur Rahman. Pengemudi kelotok biasanya dibekali uang untuk lolos dari penjagaan. Rupanya perusahaan sudah paham betul dengan tabiat ‘pos penjaga’ sungai.

Kini, denyut kehidupan pinggir sungai Kuayan kian melemah. Masyarakat kini hanya bisa bergantung pada perusahaan sawit yang banyak berdiri di wilayah tersebut. Sekitar enam hingga tujuh perusahaan sawit berlokasi di Mentaya Hulu. Jumlah state kebun capai puluhan, bahkan ratusan. Namun bagi Anto, Rahman dan mungkin semua warga Kuayan, tidak ada yang bisa menggantikan era kejayaan kayu. “Kalau kerja di sawit, kami cuma dibayar Rp 30.000 sehari. Kalau dulu, sehari saya bisa dapat Rp 200.000,” ungkap Anto.

Hutan kayu Kuayan hanya tinggal cerita. Bukit bukit hijau tempat Meranti berdiam kini terganti tandan sawit berdaun jarang. Wajah lesu pengemudi kelotok menjawab bagaimana sulitnya mereka untuk terus bertahan. Sepanjang jalan pulang, mata menerawang sang pengemudi ke segelintir pohon rindang yang tersisa di pinggir sungai pelan berbisik “Aku ingin kembali ke masa itu,”

Kini, Kayu Sibitanpun Diperkarakan

Rasanya tidak berlebihan jika menyandangkan gelar kerajaan hutan pada pulau Kalimantan. Bagaimana tidak, pada rentang tahun 1990 hingga awal 2000, tercatat sebanyak 55 perusahaan kayu resmi di Kalimantan Tengah. Setidaknya terdapat 23 perusahaan yang berlokasi di wilayah Kotawaringin Timur.

Perjalanan dilanjutkan ke wilayah hulu. Di daerah ini, masyarakat begitu lekat dengan industri kayu. Kisah mereke mengingatArman adalah putra asli Sampit. Selama puluhan tahun ia hidup di surga kayu. Usianya kini mencapai 80 tahun lebih. Sulit menangkap ucapannya, dulu, kakek empat orang cucu ini tinggal di Sampit. Kini ia memilih berladang di Seranau, kecamatan Mentaya Seberang. Dulu, ia merupakan salah seorang pekerja brengsel.

*brengsel, sekarang*
*photo was taken here*

Sulit rasanya memisahkan industri kayu dengan nama brengsel. Kejayaan produksi kayu Kalimantan ditandai dengan berdirinya NV Bruynnzeel pada tahun 1948. Pemiliknya warga negara Belanda. 1961, tampuk kepemimpinan pabrik berpindah ke tangan pemerintah kota. Hal ini menyusul dikeluarkannya Peraturan Perusahaan Negara (PN) Perhutani oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan PP no. 15/1972 tentang perubahan PN. Perhutani Kalimantan menjadi PT. Inhutani I (kaltim), PT. Inhutani II (kalsel) dan PT. Inhutani III (kalteng dan kalbar).

Jejak kesuksesan Inhutani memproduksi kayu mulai diikuti oleh banyak investor dari luar. Di era tahun 1990an, perlahan geliat industri kayu mulai tampak. Satu persatu perusahaan menancapkan benderanya di tanah Kalimantan. Untuk wilayah Kotim, sebut saja nama nama perusahaan besar seperti PT Meranti Mustika, PT Kayu Tribuana Rama, PT Sarmiento Parakanca hingga PT Berkat Cahaya Timber.

“Itu yang resmi, amun yang tebang tebang tanpa izin, kada kehitungan,” ujar Arman. Hal ini dikuatkan oleh mantan pekerja kilang penggergajian, Ahmad. Ia merupakan warga desa Padas, Kecamatan Parenggean. Bermukim di pinggiran sungai Tualan sejak tahun 1993, ia paham betul bagaimana pengolahan kayu dan kemana mereka dijual.

Menurutnya, kayu kayu yang datang ke kilang penggergajian adalah milik warga sekitar. Di periode 1990 hingga 2005, peranan kilang penggergajian adalah untuk menyulap gelondongan kayu menjadi potongan kubik siap jual. “Waktu itu, bandsaw (mesin gergaji kayu) behamburan dimana mana, sedikit punya uang lebih, orang memilih mendirikan penggergajian,” terangnya.

Bagaimana tidak, upah yang didapat pekerja saja mencapai Rp 400.000 per minggu. Itu upah untuk pekerja kasar, entah berapa keuntungan yang bisa diraup pemilik kilang. “Sekarang banyak pemilik perusahaan yang berhenti di kayu, tapi bisa mendirikan perusahaan kebun sawit,” ungkap Dian, warga lain. Setidaknya sedikit gambaran dapat dilihat, berapa banyak keuntungan yang diraup usai menjamah hutan Kalimantan. Asal tahu saja, investor yang membangun perusahaan kayu bukanlah penduduk asli. Rata-rata berasal dari pulau, bahkan negara lain. Selesai menggarap hutan, bebas mereka melenggang, meninggalkan pekerja.

Saat ini, penduduk yang dulu merupakan pekerja kayu sudah nyaris tak bisa bernafas. Mata pencarian satu-satunya (dan juga menjanjikan), kini harus direnggut sistem birokrasi dan ketidakbertanggungjawabang pemilik perusahaan.

Desa Bajarau terpisah beberapa kilometer dari Desa Bajarau. Jika di desa Padas Dian dan Ahmad kini terpaksa bergelut dengan hewan ternak dan lahan sayur, maka di desa Bajarau alternatif pekerjaan peralihan cukup beragam. Masyarakat memilih menjadi petani karet, pedagang pasar, hingga supir truk.

*Meranti Mustika Plywood, sekarang*

Dulu, kayu kayu itu dapat dengan mudahnya lolos dari hutan pedalaman. Jumlahnyapun tak main main, Ahmad menyatakan, dalam sehari, 18 kubik kayu bisa diolah dan dikirim. Itu hanya untuk satu kilang. Sementara interval pengiriman seminggu sekali. Imajikan saja, berapa kubik kayu yang lolos ke luar pulau.

“Kalau sekarang, satu kubik saja membawa kayu ke kota (Sampit, red) tanpa izin, bisa enam bulan dikurung. Jangankan kayu utuh, sibitannya saja bisa kena razia,” papar Ahmad. Maka wajar, jika kebanyakan pekerja yang sekarang memilih bertahan kesulitan menyambung nyawa. Usaha sulit ditambah harga yang kian melejit. Bantuan pemerintah? Serempak kedua warga asal Negara, Banjarmasin itu menggeleng.

“Seumur umur saya tinggal di sini, pemerintah tidak pernah ke sini, apalagi memberikan bantuan,” (***)

No comments:

Post a Comment