Menginjak semester kedua di Jakarta, dalam kegamangan kegamangan tak bertuan.
Saya terus merasa memerlukan penghiburan. Atas hidup, atas rutin, atas segalanya. Semakin ke sini, saya seperti terlepas dan melesak terlampau jauh dari titik saya berasal. Tidak menuju ke titik terbaik, saya justru kehilangan arah dan akhirnya, tidak lagi memiliki alasan kuat untuk tetap berada di Jakarta.
Berinteraksi dan berproses dengan makhluk hidup itu ternyata sulit. Saya kesulitan menyampaikan maksud, terbentur keterbatasan keterbatasan yang tidak bisa saya ungkapkan. Atas nama harga diri dan etika dalam bekerja. Saya seharusnya tidak asing dengan keadaan ini. Di beberapa tempat sebelum ini, sayapun mengalami kondisi serupa. Hanya saja, saya keburu berhenti, keluar dan pergi tanpa belajar tentang cara mengatasinya.
Maka sebutlah saya tidak cukup bekal untuk menghadapi keterkejutan keterkejutan ini. Perubahan yang rasa rasanya terlampau besar untuk saya peluk. Paradoks terbesar adalah jakarta berisi 10 juta manusia dan saya merasa benar benar sendirian di sini.
Tapi, bukankah tinggal dan hidup di Jakarta telah menjadi mimpi besar saya sejak, sebutlah, 5 tahun belakangan? bukankah saya menghabiskan waktu untuk menakar nakar probabilitas hidup di kota ini nyaris setiap malam? bukankah keinginan untuk keluar dari kota kecil yang tidak menawarkan apa apa kecuali kebosanan tak berujung begitu menggebu selama bertahun tahun?
Lalu apa yang membuat saya seperti kehilangan semangat, dan seperti disebutkan di atas, kehilangan alasan kuat untuk tetap berada di Jakarta?
Temporarily emotion? rasa rasanya bukan, kejenuhan ini terjadi nyaris setiap malam sebulan setelah saya berada di sini. Dan tak kunjung hilang. Tak kunjung merasa nyaman. Selama itu pula saya berusaha mencari tau dan mengentaskannya. Dengan bepergian, dengan mengunjungi kawan kawan, bertemu orang orang baru, dan menghamburkan uang :p
Hasilnya sama saja, saya tidak lagi memiliki pendar ketakjuban anak kampung yang membayangkan kehidupan di kota besar seperti pertama mendapat kesempatan ke Jakarta. Tidak lagi ada keinginan untuk hidup di tengah kemajuan teknologi dan keserbaadaan ibukota. Saya justru terus membayangkan kemungkinan kemungkinan yang bisa saya gali di Sampit.
Membuka kembali dan memperluas percetakan alifa, membangun counter pulsa untuk kakak dan mengembangkan bisnis laundry untuk emak. Semua itu bisa saya lakukan jika kala itu pikiran saya tidak berkutat perihal tinggal di Jakarta dan menjadi besar di sini. Naif, Nani adalah anak 19 taun yang naif pada saat itu.
Simpulan terdekat saya adalah selama ini saya membentuk set pikiran berupa "Saya terlalu besar untuk Sampit." dan resultnya sekarang "Jakarta terlalu besar untuk saya" :D
photo was taken here |
so, yea, I'm going back home..
No comments:
Post a Comment