Pria itu menyimpan dendam. Pekerjaan sebagai supir taksi di Jakarta membuatnya merasa perlu untuk menumpuk dendam. Sekian tahun ia bekerja dan daftar dendamnya kian panjang.
Ia sepenuhnya tau, tidak ada yang salah dengan pekerjaannya. Tidak dengan jalan yang macet berjam jam. Tidak dengan penumpang penuh keluh yang membuat kupingnya jenuh berjam jam. Ia hanya kesal, dengan dirinya sendiri.
Pria itu menaruh dendam pada dirinya sendiri. Tentang ia yang tak kunjung mengunjungi anak istrinya di kampung. Tentang ia yang tak mampu memberi alasan jelas mengapa kontrakannya tak kunjung dibayar.
Ia sepenuhnya tau, tidak ada yang salah dengan pekerjaannya. Tidak dengan jalan yang macet berjam jam. Tidak dengan penumpang penuh keluh yang membuat kupingnya jenuh berjam jam. Ia hanya kesal, dengan dirinya sendiri.
Pria itu menaruh dendam pada dirinya sendiri. Tentang ia yang tak kunjung mengunjungi anak istrinya di kampung. Tentang ia yang tak mampu memberi alasan jelas mengapa kontrakannya tak kunjung dibayar.
Hari itu matahari terbit lebih awal. Orang orang terbangun dan memulai rutinitas pagi, seperti biasa. Pria itu menguap panjang dan mengumpat kepada matahari. Kelambu berbau tembakau disingkapnya. Jalan jalan sempit, rumah rumah petak, anak anak kumuh. bau sampah menguar..
Ia mengeluh lebih banyak hari itu. Mengeluh atas matahari yang menyala terlalu panas. Mengeluh terhadap jalanan pagi yang lebih macet dari biasanya. Mengeluh pada pengamen yang bersepakat untuk memulai paduan sumbang lebih nyaring dari hari hari sebelumnya. Pria itu terlalu banyak mengeluh hingga ia mengeluh karena terlalu banyak mengeluh.
Pria itu tau betul bahwa pekerjaannya tidaklah terlampau pelik. Ia hanya datang di pagi hari, mengendarai mobil dari satu titik ke titik lain dalam rentang jarak yang tak terlampau jauh. Ia duduk di kursi nyaman dengan embusan AC, menepi sesekali jika merasa penat. Kota itu terlampau kaya hingga pria itu nyaris tak pernah kuatir atas tenggat setoran. Pun ia terus mengeluh atas gajinya yang terlampau sedikit untuk menghidupi dirinya sendiri.
Istrinya di kampung tak pernah meminta materi. Pria itu tidak menemui sekalipun masa di mana istrinya meminta kiriman uang. Wanita yang dinikahinya tak berapa lama itu hanya meminta kehadirannya dalam ujud fisik. Itupun sulit dipenuhinya, dua hari libur dalam sebulan bukan waktu yang cukup untuk pulang ke tempat terpencil serupa kampung halamannya.
Pria itu terus menggerutu hingga siang datang. Ia mulai merasa ada yang aneh. Tak satupun orang di sepanjang jalan yang melambai ke arahnya.
#eaaaaa #NaniAnakYangKeabisanIdediTengahCerita #DilanjutinNantiYaa
Pria itu terus menggerutu hingga siang datang. Ia mulai merasa ada yang aneh. Tak satupun orang di sepanjang jalan yang melambai ke arahnya.
#eaaaaa #NaniAnakYangKeabisanIdediTengahCerita #DilanjutinNantiYaa
No comments:
Post a Comment