Aku tidak begitu menyukaimu, sebenarnya.
Hanya saja aku kesulitan membayangkan bagaimana harus menjalani hidup tanpa kamu. Kamu kaya sepejal udara, sederhana tapi krusial. Sekaligus, itu yang aku benci dari kamu.
Kembali ke soal aku-tidak-terlalu-menyukaimu.
Aku menemukan berjuta konsep untuk hidup tanpa kamu. Dengan kemungkinan kemungkinan yang sangat besar bahwa aku benar benar bisa hidup tanpa kamu. Tapi semua berbatas konsep. Seperti kamu memikirkan teori teori soal hidup tanpa negara. Tapi kesulitan menemukannya dalam batasan nyata.
Sescience fiction itulah hubungan kita.
Aku tidak begitu menyukaimu, sebenarnya.
Kita berbicara. Bertemu. Berdiskusi. Menjadi teman sekaligus duet terbaik dalam mengentaskan segala pertanyaan yang terkadang kita ciptakan sendiri. Misal, tentang bagaimana jika holocaust benar benar tidak ada dan sekedar mitos yang diturunkan pada orang orang yahudi sebagai ode pengantar tidur.
Meski kemudian kita tertawa sendiri dan seakan mendengar Heinrich Himmler turut tertawa di belakang kita.
Yang membuatku terus menggumamkan kata aku tidak begitu menyukaimu adalah kenyataan bahwa kamu sangat pendiam. Terlalu diam, bahkan. Aku terus berkata, bersuara dan melontarkan tanya demi tanya. Kamu jawab dengan tatapan, sesekali kedipan. Sekali berarti kam setuju, dua kali berarti aku harus memikirkan ulang konklusi yang sudah kuambil.
Atau, kamu berkedip kedip ratusan kali. Seperti pantat kunang kunang. Yang artinya..
Entah apa.
Kamu tau soal kunang kunang? Sekali waktu aku menonton CSI Ney York dan menemukan Derek tengah menjawab pertanyaan anak kecil soal reaksi kimia di tubuh kunang kunang dan menyebutnya sebagai upaya si kunang kunang untuk melindungi diri. Anak kecil yang diajari soal reaksi kimia terdengar seksi.
Ibuku berkata saat aku masih kecil; “Kunang kunang itu kukunya orang mati,”
Oh well, setidaknya ini menjawab mengapa hingga di usia sekarang aku masih membuka buka koran hari minggu demi melihat zodiak, sesekali menuliskan nama lengkapku dan namamu di primbon.com dan… aku mempercayai takdir.
Kamu selalu mengutip kata kata Einstein, yang kemudian aku tau dari salah satu film yang aku suka; V for Vendetta.
“I, like God, do not play with dice and I don't believe in coincidences,”
Tuhan tidak bermain dadu. Ia mungkin tengah bermain scrabble. Atau ular tangga. Atau bahkan bermain catur dengan para malaikat surga. Entahlah.
Aku tidak terlalu menyukaimu. Seperti berpuluh puluh lagu yang aku klasifikasikan sebagai lagu favorit dan kudengarkan berulang ulang. Setiap hari.
Kamu tau aku tidak begitu pandai beranalogi. Akupun tidak terlalu pandai berbicara langsung pada makna. Bagaimana bisa, satu halaman A4 ini saja tidak memiliki arti sama sekali. Ah intinya, aku bukan perempuan pandai.
Seakan ingin menyalahkan takdir, aku putuskan untuk kesulitan (atau mempersulit) menemukan alasan untuk tidak-terlalu-menyukaimu. Aku hanya begitu, titik. Aku sedang menyenangi beberapa hal belakangan ini. Twitter, Ultra Disc dan Letto. Juga mungkin kebiasaan lama yang kembali muncul;
Aku sering berbicara sendiri.
Dengan suara nyaring, dalam bahasa asing.
Di kamar mandi, saat menuju radio, dan menuju tidur.
Namanya Dimas, perkenalkan, teman fantasiku. Damn, menyebut ‘teman fantasi’ di usia segini malah bikin aku terdengar maniak. Dimas itu namamu bukan sih? Kamu, yang selalu diam dan hanya berkedip sesekali dalam kepalaku. Iya, kamu Dimas. Sosok yang tidak-terlalu-aku-sukai. Dan karena kamu kawan fantasiku, aku bebas membuatmu menjadi apa saja. Membuatmu mengatakan apa saja.
Seperti, “Aku suka kamu, Nan”
Sesukaku, kan?
Kamu hanya ada di kepalaku. Aku bisa membunuhmu kapan waktu. Mungkin saat kamu tidak lagi menyukaiku.
Haha. Akan terdengar sangat ironis kalau kawan fantasiku berkata bahwa dia tidak lagi menyukaiku. Aku, penciptanya.
Right?
No comments:
Post a Comment